Tales of moving island
(visual summary of life)
by Kemal Ezedine
Saya suka Affandi
Saat berada
diawal belasan tahun usia saya di Yogyakarta, saya sudah pernah mengukuhkan
cita-cita saya sebagai pelukis, alasannya hanya karena suka menggambar, saya
hanya melakukan apa yang saya bisa disaat itu, yaitu menggambar semirip-mirip
dan sebagus-bagusnya dari apa yang saya
lihat sebagai contoh gambar, saya kesulitan melukis dengan kuas dan cat, maka
saya memilih crayon/pastel karena secara
garis dan warna lebih mudah untuk dikuasai, sayapun dikenal sebagai jago gambar
disekolah dan sering sekali memenangkan lomba. Hingga suatu hari saya
berkunjung ke museum Affandi, disana saya mendapat suatu hal yang berbeda yaitu,
melukis dengan kuas dan cat hasilnya boleh jelek, sejelek karya-karya Affandi
yang saya lihat. Setidaknya itu pandangan yang
saya saat itu, yang penting banyak goresan garis dan warna, saya pun
mulai menggambar jelek dengan kuas dan cat seperti Affandi , tidak ada salahnya, saya meniru
seorang maestro, lukisan pertama saya menggunakan kuas dan cat adalah lukisan
sebuah menara Eiffel yang saya contoh dari souvenir
yang dibawa ayah saya sepulang dia bersekolah di eropa, saya mulai menyukai
melukis dengan cat dan kuas, akibatnya seorang guru kesenian merobek gambar saya
karena dinilai gambar saya jelek tidak sebagus biasanya dan meminta saya
menggambar dengan crayon, saya marah dan keluar dari kelas, saya duduk di kelas
6 SD saat itu, dan saya tetap melukis bergaya Affandi yang selalu di tolak oleh guru kesenian disekolah,
sayapun tidak pernah lagi menang di setiap lomba menggambar . Disaat kuliah,
saya masuk ke jurusan desain produk di FSRD ITB dan saya tidak pernah nyaman
berada di jurusan itu, saya lebih banyak bermain dengan anak-anak dari jurusan
seni murni, terutama jurusan seni lukis dan seni patung.
Magic Mushroom
Saya sangat
bersyukur sekali kejadian ini terjadi terhadap saya. Kejadian konyol tapi
begitu penting. Suatu waktu tahun 2004 di Bandung, saya berkunjung ke rumah
teman saya yang berkebangsaan Korea Selatan bernama Kim Bo Hyun disana
juga datang Takahiro Murasawa, teman berkebangsaan jepang . Taka baru
saja pulang dari Batu karas, Pelabuhan ratu dan membawa oleh-oleh magic mushroom yang dibungkus daun
pisang, lipatannya kira-kira sebesar bungkus rokok. Saat di buka bungkusan itu
tercium bau yang saya pikir magic mushroom
itu sedang dalam proses pembusukan, Kim
Bo menolak untuk ikut mengkonsumsi magic mushroom itu, sedangkan saya dan
Taka masuk dalam kemelut rivalitas keberanian. Akhirnya diputuskan Kim Bo
sebagai bartender , saya dan Taka sebagai konsumen. Segera Tersaji dua gelas Orange
Float Magic Mushroom + sedikit Soju
(arak Korea). Tidak terlalu lama prosesnya bekerja setelah masing masing dari
saya dan Taka meminumnya, saya mulai merasakan mual dan sepertinya muka saya
berwarna hijau keungu-unguan. Taka tampak terlentang dilantai menutupi mukanya.
Saya mulai khawatir, jangan –jangan kami keracunan, saya menawarkan kepada Taka
untuk memuntahkan apa yang kami minum, tapi Taka menolak, saya sudah tidak kuat
dan segera lari kekamar mandi dan memuntahkan apa yang saya minum, lumayan
meringankan, tapi tetap sempoyongan dan keringat dingin keluar. Kimbo mulai khawatir,
dia mengajak kami untuk jalan-jalan mencari udara segar. Mobil disiapkan dan
Kimbo sudah siap di belakang kemudi , saya duduk dikursi depan dan Taka di
kursi belakang. Seingat saya mobil melaju dengan sangat cepatnya, saya tidak
tau kemana, karena saya terus bersandar di kursi sambil melihat keluar jendela,
Kimbo mulai memasang lagu-lagu disko Korea dengan CD palyer di mobil yang penuh
lampu warna-warni, Taka mulai berjoged di belakang, saya mulai merasakan reaksi
magic mushroom ini. Reaksinya adalah,
hujan dan kabut warna! Dimana-mana setiap ada cahaya di jalanan mengeluarkan
jutaan warna, tumpah ruah kemana-mana, kemanapun saya menoleh mengakibatkan
warna-warna itu bergerak dan terus keluar dari setiap cahaya yang saya lihat,
lampu jalan, lampu rumah, lampu CD player, lampu mobil, semuanya melahirkan
warna-warna yang terus keluar seperti ombak, saya mulai tersenyum dan
tertawa.Semua orang happy, termasuk Kimbo, Ini pertama kali dia bawa mobil kejalanan.
Saya baru ingat keesokan paginya kalau Kimbo sedang belajar menyetir mobil.
Hayao Miyazaki mengajarkan saya untuk
berimajinasi.
Hayao Miyazaki
adalah director sekaligus pemilik dari Ghibli Studio, lama sekali saya
mengikuti karya-karyanya hingga sekarang, mulai dari Lupin the 3rd , Nausica, Totoro, Mononoke Hime, Laputa,
Spirited Away, Ponyo, Porco rosso , Howling moving Castle dan masih banyak
lagi hingga film animasi terakhirnya Ariety.
Setiap karya-karya Miyazaki seperti membawa saya ke dimensi lain disaat
menontonnya, entah kenapa setiap filmnya seperti menyihir saya untuk berada
didalamnya, setiap ceritanya meyakinkan saya bahwa itu bisa saja terjadi
didunia ini. Membuat saya begitu mengidolakannya hingga hampir menyembahnya
(lebay). Hal yang paling saya rasakan adalah, begitu besar pengaruhnya terhadap
saya untuk bisa berfantasi dan berimajinasi, memudahkan saya untuk mencipta,
berkreasi dan berpikir hal-hal yang diluar kebiasaan, bahkan hal-hal yang terlihat
konyol sekalipun, membuat hidup ini semakin menyenangkan dan menarik untuk
mencari tahu misteri-misteri dibaliknya, bahkan bukan tidak mungkin untuk
diaplikasikan didalam hidup untuk melihat hal-hal baru yang selama ini belum
pernah saya lihat.
Lihat saja Totoro,
secara visual apa pikiran logis yang bisa kita lihat secara visual dari Totoro, siapakah Totoro? Seekor burung
hantu? Tupai? Kucing?..dan setelah saya cari tahu ternyata dia adalah roh dari
pohon (???). Porcorosso, seorang pilot di era perang yang dikutuk menjadi
manusia berkepala babi. Cihiro yang masuk ke dunia roh dengan bentuk yang beragam dan sangat menarik didalam film Spirited away atau dalam
versi jepangnya berjudul Chihiro no Kamikakushi dan masih banyak lagi. Semua film karya Miyazaki begitu
terekam didalam ingatan saya dan membuat saya ingin berada didalamnya. Apalagi
begitu hebatnya dia mencampurkan budaya eropa dimana Hayao Miayazaki begitu
menyukai karya-karya renaissance dengan budaya jepang tradisional didalam karya
animasinya. Begitu berpengaruhnya Hayao Miyazaki diawal-awal saya mulai
melukis, dimana saya mulai belajar menciptakan karakter-karakter yang saya
lukiskan kedalam kanvas.
Hidup di dunia Boneka Jim Henson
Tahun 2000,
saya berpapasan dengan senior saya Oyasujiwo di koridor kampus ITB, kami
berbicara sedikit soal membuat acara anak dan sebagainya, saat itu sempat
tercetus oleh saya, ‘ suatu saat saya akan bekerja di Jim Henson’, mungkin saat itu
Oyas tertawa, seharusnya saya juga, karena itu hanyalah sepenggalan kata
berseloroh yang kosong tanpa arti diawal-awal masa kuliah, dimana saya masih
begitu naif terhadap segala kondisi dan kemelut pencarian jati diri. Siapa
sangka tahun 2008 hingga 2011 saya bekerja di
Sesame street Indonesia (Jalan Sesama), adalah co-production dari Sesame
Workshop yang bermarkas di New York. Co-production berarti kami bekerja dengan
boneka (muppet) yang di buat oleh Henson Company, berkomunikasi dengan Sesame
Workshop di New York dan Elmo.
Begitu
diterima sebagai art director, saya langsung menghubungi Oyas tentang perkataan
saya , dan Oyas juga masih mengingatnya dan mengucapkan selamat, kami tidak
pernah menyangka hal yang tidak serius itu menjadi kenyataan dan berubah
menjadi sangat serius. Sayapun mulai bekerja dengan boneka (muppet), begitu
antusiasnya saya masuk kedalam studio dimana setiap hari dan bertemu dengan
boneka-boneka (muppet) dari Henson Company, begitu saya mencintai pekerjaan ini
sampai-sampai saya melahap tiga jabatan, art director, film director hingga
sebagai studio producer.
Setiap malam
disaat semua kru studio sudah pulang , (kebetulan
saya memegang semua kunci studio dan saya adalah kepala studio, saya memilki
kekuasaan untuk melakukan apapun didalam studio) saya diam-diam akan
mengeluarkan semua boneka (muppet) , menyalakan lampu dan meletakkan semua
boneka (muppet) di set studio, dimana disana dibangun desa palsu untuk
kebutuhan latar disaat syuting, saya akan duduk disana hingga larut malam,
membaca script ataupun sekedar
berkhayal dan melamun. Inilah pertama kali saya berada didalam dunia khayal
yang sebenarnya, dimana semua ada didepan mata, benda-benda mati (boneka)yang tampak hidup didalam layar kaca
semua begitu dekat berada disekitar saya, hanya saya dan mereka
(boneka),mungkin terdengar gila, tapi apa boleh buat, kesenangan tersendiri
bagi saya.
Sesekali sambil
memajang boneka-boneka itu di set studio, saya luangkan waktu untuk membaca
siapa itu Jim Henson, kenapa dia melakukan semua ini hingga saya terlibat
didalamnya. Selama kurun waktu 3 tahun
tersebut, hal yang saya pelajari adalah bagaimana ‘menghidupkan’ benda
mati menjadi begitu berpengaruh terhadap hidup orang lain, merasakan benda mati
bisa jadi perantara untuk mengungkapkan sesuatu yang sulit dilakukan oleh
manusia, bahkan kita mampu memasukkan sifat-sifat tertentu kedalamnya dan
membuat orang lain percaya bahwa mereka ada dan menciptakan sebuah komunikasi.
Saya begitu
mencurahkan energi dan segala kemampuan saya disana, kemampuan saya menggambar,
merancang, penggunaan warna-warna dari magic
mushroom yang selalu saya ingat di kepala saya untuk setiap objek yang
digunakan, hingga scene direction-pun
saya contoh dari animasi-animasi karya Studio Ghibli. Saya seperti
mengumpulkannya menjadi satu disana.
Hal yang lucu
adalah, setiap kali saya menyutradarai sebuah episode, instruksi acting saya
bicarakan dengan melihat bonekanya, bukan kepada puppeteer yang ada dibawah/dibalik boneka, hebatnya, para pemain
boneka merespon kebiasaan saya tersebut dengan sekedar mengangguk, mengatakan
‘oke’ atau berdiskusi, sehingga terlihat saya sedang berbicara dengan boneka (muppet)
langsung. Mereka menjadi terlihat begitu hidup dan bernyawa.fantastis!
Sayang sekali
hanya berlangsung 3 tahun, saya pikir saya akan bekerja sangat lama di tempat
ini, karena ditempat inilah saya merasakan, segala sesuatu yang bersifat
khayalan menjadi kenyataan dan saya berada didalamnya, saya benar-benar bisa
berkarya dengan apa yang saya punya dengan begitu bebas seperti seorang
seniman, seperti Hayao Miyazaki, seperti
Jim Henson dan tentu saja dengan kecintaan saya terhadap pekerjaan ini, saya
begitu sedih kehilangan pekerjaan ini karena faktor internal yang begitu rumit dan
berbelit, saya memutuskan untuk tidak mau lagi bekerja di produksi film apapun,
bekerja di Sesame Street menjadi pekerjaan terakhir dan puncak karier saya didunia perfilman. Inilah khayalan yang
menjadi nyata didalam hidup saya, dan tidak mungkin terjadi untuk yang kedua
kalinya, memang sudah saatnya berhenti karena sudah tidak ada lagi semangat
untuk menciptakan hal lain dalam bentuk film setelah melakoninya sejak 2004.Saya
sangat kecewa, yang tadinya saya pikir ini adalah mimpi yang menjadi kenyataan
ternyata bukan.Terima kasih untuk Jim
Henson dengan apa yang sudah dia ciptakan dan dia bangun, dimana pengaruhnya
begitu besar bagi banyak orang, sebuah kesempatan yang jarang sekali terjadi,
Rest In Peace Jim!
Ubud, Bali
November 2011
, setelah berhenti dari Sesame street Indonesia saya memutuskan untuk pindah ke
Ubud, Bali. Memutuskan berhenti dari industri video dan film benar-benar
membuat saya tidak tahu lagi mau melakukan apa. Melukis adalah satu-satunya hal
yang saya ingin lakukan disini tidak ada pikiran lain, hanya melukis. Hal yang
sebenarnya sudah rutin lagi saya lakukan sejak 2006 sebagai hobi sampingan, dan
efeknya yang begitu menenangkan. Apalagi kalau saya ingat-ingat, ini adalah
mimpi saya sejak kecil dan belum pernah
ada keinginan untuk mewujudkannya. Jadi, disinilah saya, Ubud, Bali tempat
dimana begitu banyak pelukis tersebar disetiap tempat, mulai dari artshop
hingga galeri besar. Benar-benar awal yang gila untuk memulai sebagai full time artist ditempat dimana semua
orang banyak yang melukis dan berkesenian. Seorang teman bernama Peter
berkebangsaan Belanda mengatakan, ‘menjadi
seniman berhasil adalah 1 diantara 1000’.
Awal yang
susah, hidup sebagai seniman di ubud dengan uang tabungan yang pas-pasan.
Kebiasaan bekerja rutin dalam industri
video dan film yang dapat menghasilkan banyak uang dengan mudah di Jakarta
menjadi dilema yang sangat kuat, tetap mau melukis atau kembali ke industri
film yang setiap saat ada saja telepon atau pesan singkat melalui seluler meminta saya
bergabung untuk bekerja sama kedalam sebuah tim produksi film.
Suasana Ubud
ternyata yang menguatkan, tempatnya begitu tenang membuat saya malas
membayangkan untuk datang ke Jakarta,
apa lagi begitu banyak saya bertemu dengan para pendatang dari negara lain yang
mengutarakan kedatangan mereka ke Ubud, banyak diantara mereka yang ingin
menetap hingga puluhan tahun. Mereka begitu yakin dan mampu melepaskan
apa yang dulu menjadi milik mereka demi mencari apa yang benar-benar mereka
inginkan didalam hati, tidak sekedar materi untuk bertahan hidup. Sebuah
kepasrahan tingkat tinggi dan mereka temukan di Ubud.
Sayapun
sedikit demi sedikit mulai belajar merelakan, melepaskan dan pasrah. Mulai
berusaha mengenali dan memahami hal sederhana yang saya inginkan. Belajar dari
melihat orang-orang Bali yang hidupnya 60 persen untuk aspek spiritual dan 40
persen untuk tuntutan duniawi (bekerja). Sebuah kerelaan yang dilakukan turun
temurun hingga sekarang, meskipun sebagian dari mereka tidak memahami betul apa
yang sedang mereka lakukan dalam aspek spiritualnya.
Waktu berjalan
terus saya mulai membiasakan atau memaksakan diri setiap hari melukis, disaat
melukis inilah banyak terjadi perenungan didalam diri saya, seperti bicara
kepada diri sendiri, mulai muncul pemahaman-pemahaman sederhana yang begitu
mudah dipahami mengakibatkan saya ketagihan untuk melukis karena kebutuhan
‘diskusi” terhadap diri sendiri dan mencari tahu tentang banyak hal. Saya mulai
melupakan materi, mulai belajar menerima
apa yang ada dan itu sudah sangat cukup bagi saya. Secara materi mulai
muncul dengan sendirinya dari lukisan dan saya anggap sebagai ‘bonus’ dari hasil ‘diskusi’ terhadap diri sendiri
meskipun hasilnya tidaklah banyak.
Saya sendiri
tidak menyangka hasil yang terlihat secara visual muncul sedemikian rupa, saya
mulai melihat kembali keterlibatan magic
mushroom dalam warna, tokoh muppet dalam objek lukisan, dan alam
fantasi/imajiner karya-karya animasi Hayao Miyazaki. Secara keseluruhan tidak
ada lagi rasa takut lukisan terlihat jelek ataupun bagus, sebuah perasaan yang
sama disaat saya mulai melukis dengan kuas dan cat sepulang berkunjung dari
museum Affandi waktu kecil.
Mulai muncul
pertanyaan-pertanyaan di benak saya,
‘Apakah saya mulai melukis dengan kuas dan
cat disaat kecil, melukis jelek seperti Affandi
adalah bagian dari apa yang sudah menjadi rencana saat ini?’
‘Apakah efek magic mushroom yang dulu saya
rasakan adalah bagian rencana ini?’
‘Apakah kesenangan saya terhadap Hayao
miyazaki diarahkan untuk ini?’
‘Apakah tujuan dipertemukan dengan Muppet
Jim henson adalah bagian dari rencana ini juga?’
..dan..
‘Inikah sebabnya saya ke Ubud, untuk
menemukan dan mengumpulkan plot-plot kejadian yang dulu pernah di terjadi
sebelumnya menjadikannya kedalam bentuk lukisan?’
Begitu lama
harus menunggu saat ini dan prosesnya begitu panjang, berkelok-kelok tanpa saya
sadari sebab dan kegunaannya. Kalo memang seperti itu tujuan dan maksud dibalik
semua ini.. maka saya adalah satu diantara seribu.
Proses self Kognitif dan
memvisualkannya.
Cerita-cerita saya diatas mebantu saya
untuk meciptakan visual dari karya-karya saya dalam pameran ini, mengumpulkan
berbagai ingatan,atensi, kesadaran, persepsi, bahasa dan kreativitas yang ada,
menjadikannya satu kedalam kanvas ataupun material dan media lain nantinya.
Saya akan coba menjelaskan prosesnya.
Berkarya
dengan mengingat pengalaman pribadi baik secara implisit (tempat skema kelekatan, transference, dan super
ego) ataupun
eksplisit (informasi sosial dan identitas, penggambaran
otobiografi, aturan sosial, norma, harapan),
seolah seperti sebuah introspeksi dan penyadaran terhadap diri sendiri. Proses
tradisional dari mengingat yang dilalui dengan pendataan penginderaan, ingatan
jangka pendek dan ingatan jangka panjang, mengumpulkan berbagai macam puzzle kehidupan, menggambarkan
pengalaman masa lalu dan menggunakan hal tersebut sebagai alat untuk memanggil informasi lama mengubahnya
menjadi informasi baru membentuk sebuah kognitif, yang mana
didalam kognitif rangsang visual memegang peranan penting dalam membentuk persepsi
( rangkaian proses pada saat mengenali,
mengatur dan memahami sensasi dari panca indera yang diterima dari rangsang
lingkungan). Penggunaan informasi ini, yang dalam kasus saya menjadikannya
sebagai objek visual disebut sebagai sebuah proses Kognitif yaitu pengolahan informasi kerja dan proses
fisik dengan anggota tubuh manusia (mata,tangan,jari,kaki,suara) baik aktif
maupun pasif (melanjutkan pekerjaan yang telah dilakukan sebelumnya).
Terjadi juga sebuah perubahan dalam penyatuan pengalaman sensori melalui introspeksi diri,
menjadikan diri sebagai pembelajaran terhadap psikologi kognitif yang mempelajari bagaimana kita sebagai
manusia dapat menerima, mempersepsi, mepelajari, menalar, mengingat dan
berpikir tentang suatu informasi yang kemudian membentuk sebuah kepercayaan/
pengetahuan yang dapat memengaruhi sikap dan pada akhirnya mepengaruhi perilaku
dan tindakan terhadap sesuatu.
Berbicara
terhadap diri sendiri disaat duduk merenung ataupun berdiam diri, lalu
‘memisahkan diri’ menjadi orang lain yang memilki cara pandang positif dari apa
yang saya jadikan pembahasan, menyetujui ide awal tersebut dan memberikan
pujian, setelah itu kembali melakukan ‘pemisahan diri’ menjadi orang lain yang
mendebat semua ide awal menjadi hal yang sangat negatif dan kritis, menjadi
sebuah pelatihan terhadap diri saya setiap hari untuk mengenal siapa saya dan
untuk apa saya ada, menambah pengetahuan yang saya tidak ketahui yang diawali
dengan berbagai pertanyaan yang tidak bisa dijawab sebelumnya,hingga pertanyaan
yang tak terjawabpun bisa dipahami dengan adanya andil dari waktu yang
menyertainya nanti. Satu sisi memang terlihat seperti orang gila yang berbicara
sendiri, namun inilah yang nyaman untuk saya lakukan untuk mengetahui berbagai
macam hal.
Selama
melakukan latihan diatas, menimbulkan berbagai pengenalan sifat, begitu banyak
alternatif karakter yang muncul dan berusaha memahaminya meskipun terkadang
terjadi penolakan keberadaannya. Tanpa sengaja, sayapun memvisualkan berbagai
sifat dan karakter tersebut, menciptakan berbagai ikon dan simbol visual yang
mudah untuk dapat saya ingat dan kenali untuk pemahaman, membentuknya seperti
sebuah mnemonik (mengingat dengan bantuan visual ) yang dikembangkan
menjadi sebuah cerita fantasy dan dongeng bergambar dan memberikannya
judul ‘Tales of moving Island’,
dan petualanganpun dimulai.